ASAL-USUL INDUK MARGA PURBA
ini dia bg Purba nya.
"Menurut
sejarah Kerajaan Dolog Silou dari kitab Pustaha Bandar Hanopan di
Kecamatan Silau Kahean Kabupaten Simalungun bahwa Purba Dasuha adalah
marga yang muncul kemudian dari Kerajaan Silou di Simalungun sekitar
tahun 1450. Menurut pustaka lama itu, adapun mulanya adalah dari ucapan
“si” artinya “orang” dan “Da” artinya “sang”, serta “suha; dari kata
“suha-suha” artinya “sisa-sisa minuman tuak/aren”. Jadi Sidasuhaartinya: “orang yang dijuluki sebagai peminum suha-suha (sisa-sisa
tuak). Munculnya julukan ini pertama kali di Silau Buttu (suatu kampung
di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun sekarang). Kisahnya berawal dari
pertengkaran dari dua orang putera raja Silau yang bersaudara kandung.
Menurut kisah, Raja Silau bermarga Purba Tambak mempunyai dua orang
putera, putera tertua seorang petualang yang pekerjaannya sehari-hari
“mardagang” (mengembara) dan berjudi. Menurut adat kerajaan, putera
tertua inilah yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja. Anak yang
bungsu seorang petani yang baik, suka berladang dan pendiam.
Pekerjaannya sehari-hari hanya mengurus tanamannya dan pekerjaan
sambilannya sehabis berkebun adalah “maragad” (mengambil tuak dari pohon
enau).
Pada suatu hari anak yang bungsu marah kepada abangnya, karena telah menghabiskan tuak hasil sadapannya. Dia protes kepada abangnya, tetapi abangnya tidak mempedulikannya, malah balik memukul adiknya. Karena emosi, abangnya mengatakan dalam bahasa Simalungun, “ai suha-suha ni bagod in do talup inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!” (Artinya: “Memang “suha-suha bagod” (sisa tuak) itu sangat cocok untuk minumanmu, pantas buatmu selaku orang suruhan di istana ini”). Mendengar ucapan yang merendahkan itu, anak bungsu merasa terhina dan balik memukul abangnya, akhirnya mereka berkelahi dengan adu pencak (dihar), dan karena abangnya lebih kuat, adiknya pergi dari Silau Buttu menuju ke daerah Tigarunggu (Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun sekarang). Tetapi abangnya mengejar dia terus bersama pasukan kerajaan berniat hendak membunuhnya. Maka terpaksalah adiknya berlindung ke tempat adik perempuannya (bou Tambak) di Malasori yang disembunyikan di bawah “palakka pangulgasan” (tempat merendam benang tenunan), dan sang bou dengan tenang duduk di atasnya melanjutkan pekerjaannya bertenun.
Pada suatu hari anak yang bungsu marah kepada abangnya, karena telah menghabiskan tuak hasil sadapannya. Dia protes kepada abangnya, tetapi abangnya tidak mempedulikannya, malah balik memukul adiknya. Karena emosi, abangnya mengatakan dalam bahasa Simalungun, “ai suha-suha ni bagod in do talup inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!” (Artinya: “Memang “suha-suha bagod” (sisa tuak) itu sangat cocok untuk minumanmu, pantas buatmu selaku orang suruhan di istana ini”). Mendengar ucapan yang merendahkan itu, anak bungsu merasa terhina dan balik memukul abangnya, akhirnya mereka berkelahi dengan adu pencak (dihar), dan karena abangnya lebih kuat, adiknya pergi dari Silau Buttu menuju ke daerah Tigarunggu (Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun sekarang). Tetapi abangnya mengejar dia terus bersama pasukan kerajaan berniat hendak membunuhnya. Maka terpaksalah adiknya berlindung ke tempat adik perempuannya (bou Tambak) di Malasori yang disembunyikan di bawah “palakka pangulgasan” (tempat merendam benang tenunan), dan sang bou dengan tenang duduk di atasnya melanjutkan pekerjaannya bertenun.
Akhirnya
tibalah rombongan abangnya di Malasori dan menanyakan perihal adiknya
yang dibencinya itu. Oleh Bou Tambak ditunjukkan arah yang lain,
sehingga selamatlah abangnya yang disembunyikan di bawah palakka itu
sementara Bou duduk di atasnya menenun. Sebelum abangnya pergi,
disumpahkannya kepada adiknya (Bou Tambak) bahwa ia sampai keturunanya
akan mengingat jasa adiknya itu dan akan menyayangi “botou” (saudara
perempuan) dan “boruni” (anak perempuan/pihak yang memperisteri adik
perempuannya). Demikianlah menurut kisah sehingga keturunan Purba
Sidasuha sangat sayang kepada “boru” atau “botou”-nya.
Dengan
sahabat-sahabat setianya yang menyertai pelariannya itu—pustaha panei
bolon milik ayahnya Raja Silau juga turut dibawa lari—ia pun sampailah
di daerah sekitar Tigarunggu dan membangun perkampungan di sana.
Dinamailah kampung itu “HUTA SUHA BOLAG” mengingat riwayat pelariannya
itu, marganya pun ia robah, sehingga bukan lagi PURBA TAMBAK, tetapi
berubah menjadi PURBA SIDASUHA atau PURBA DASUHA. Dengan pertolongan
sahabat-sahabatnya, ia pun mengangkat dirinya menjadi yang dipertuan di
tempat itu, karena daerah itu masih dalam wilayah kekuasaan ayahnya Raja
Silau. Di kemudian hari, ayahnya Raja Silau berperang dengan saudaranya
Raja Silau Bolag, karena terdesak Raja Silau melarikan diri ke tempat
anaknya Tuan Suha Bolag meminta perlindungan, tetapi karena pasukan Raja
Silau Bolag lebih kuat, pertahanan Raja Silau berhasil dihancurkan di
Suha Bolag, dan Raja Silau pun tewas bersama panglima-panglimanya Pisang
Buil, Sibayak Parbosi dan Raja Hanopa. Sehabis perang, abangnya (putera
mahkota raja Silau) ditawan di Suha Bolag, tetapi dapat meloloskan
dirinya dari tutupan, ia melarikan diri bersama pasukannya ke daerah
Bangun Purba sekarang ini dan mendirikan kerajaan bernama KERAJAAN RUBUN
yang daerah kekuasaanya berwatas dengan Bah Karei (Sungai Ular)—Rih
Sigom dan Sibaganding. Keturunanya kelak mendirikan KERAJAAN DOLOG SILAU
dengan memakai marga PURBA TAMBAK LOMBANG.[2]
Selepas perang saudara, Tuan Suha Bolag pergi ke Kerajaan Siantar dan kawin dengan tuan puteri raja Siantar (Bou Siattar) marga Damanik yang turun-temurun menjadi permaisuri di Kerajaan Panei. Dengan bantuan mertuanya Raja Siantar marga Damanik, Tuan Suha Bolag diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Sipoldas marga Saragih. Kisahnya, Raja Onggou Sipoldas selaku salah satu dari RAJA MAROPPAT (Siantar, Onggou Sipoldas, Tanoh Djawa dan Silau) tidak percaya dengan kesaktian pusaka Kerajaan Silau yakni PUSTAHA PANEI BOLON[3] (kitab kuno dari kulit kayu yang tulisannya hanya dapat dibaca di tempat gelap di mana tulisan di kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga, sehingga dapat diramalkan nujuman mengenai hal-hal yang akan terjadi).
Selepas perang saudara, Tuan Suha Bolag pergi ke Kerajaan Siantar dan kawin dengan tuan puteri raja Siantar (Bou Siattar) marga Damanik yang turun-temurun menjadi permaisuri di Kerajaan Panei. Dengan bantuan mertuanya Raja Siantar marga Damanik, Tuan Suha Bolag diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Sipoldas marga Saragih. Kisahnya, Raja Onggou Sipoldas selaku salah satu dari RAJA MAROPPAT (Siantar, Onggou Sipoldas, Tanoh Djawa dan Silau) tidak percaya dengan kesaktian pusaka Kerajaan Silau yakni PUSTAHA PANEI BOLON[3] (kitab kuno dari kulit kayu yang tulisannya hanya dapat dibaca di tempat gelap di mana tulisan di kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga, sehingga dapat diramalkan nujuman mengenai hal-hal yang akan terjadi).
Raja
Onggou Sipoldas takabur dengan ucapannya sendiri, sehingga dalam
pertaruhannya dengan Raja Siantar, ia kalah dan terpaksa memberikan
kerajaannya kepada Tuan Suha Bolag, tetapi Tuan Suha Bolag tidak mau
dinobatkan di tahta Raja Onggou Sipoldas, melainkan di atas Pustaha
Panei Bolon, demikianlah menurut kisah, kerajaannya dinamakan KERAJAAN
PANEI. Ibukotanya ditentukan di daerah PAMATANG PANEI (sekitar 8
kilometer dari Pematang Siantar). Daerah kekusaanya pada awalnya hanya
kecil saja, tetapi dapat diperluasnya, sehingga berbatas di sebelah
selatan mulai dari tepi pantai Tigaras sampai ke sebelah utara di pantai
selat Malaka yaitu Indrapura sekarang ini; di sebelah barat dengan
daerah Suha Bolag (Kecamatan Purba sekarang) sampai ke perbatasan dengan
daerah Silampuyang (Kerajaan Siantar). Raja Panei kedua dinamakan
Parhuda Sitajur atau Hantu Panei yang terkenal sakti mandraguna (ia
dapat berperang dengan berkuda tanpa dapat dilihat musuh). Pada zamannya
daerah Kerajaan Panei sangat disegani di Sumatera Timur, dan
pengaruhnya sampai ke Asahan (Buttu Panei). Keturunanya banyak yang
merantau ke daerah sekitarnya, ada yang sampai ke Sialtong Serdang dan
diangkat menjadi yang dipertuan. Daerah itu sebelum berdiri kesultanan
Serdang adalah daerah kekuasaan Kerajaan Silau di Simalungun yang
daerahnya mencakup Bangun Purba sampai ke Lubuk Pakam.
Pada tahun 1515 keturunan raja Panei yang mengontrol daerah Purba yaitu Tuan Simalobong Purba Dasuha dikalahkan oleh seorang pengembara dari Tungtung Batu (Pakpak Dairi) dalam adu sumpah (marbija). Tuan Simalobong bersama pengiringnya meninggalkan istana Pamatang Purba pergi ke Purba Saribu dan sebagian ke Haranggaol (Kecamatan Haranggaol Horisan sekarang). Si pengembara yang bernama Raendan “marbulawan” dengan Tuan Simalobong dan mengakui Tuan Simalobong sebagai Raja Nagodang Purba. Ia juga memakai marga yang sama dengan Tuan Simalobong tetapi dengan mengingat asalnya dari Pakpak maka marganya disebutnya Purba Pakpak.
Sementara raja Panei sendiri selama enam generasi masih tetap tinggal di Pamatang Panei, tetapi pada generasi ketujuh terjadi pertikaian di Pamatang Panei yang mengakibatkan perginya salah seorang putera raja Panei bersama pengiringnya dan Puang Bolon (permaisuri raja) ke daerah kekuasaan Kerajaan Panei yaitu daerah Baja Linggei (Sipispis) sekarang kira-kira tahun 1550. Saudara tuan Baja Linggei yang lain ditugaskan oleh Raja Panei pindah ke Raya dan menjabat sebagai GURU RAYA bersamaan dengan dijemputnya tuan puteri Panei yang menjadi permaisuri (puang bolon) di Raya sekitar tahun 1600 (abad XVII).
Keturunan raja Panei yang lain yang adalah tuan Sinaman bermarga Purba Sidadolog dan adiknya Tuan Rajaihuta bermarga Purba Sidagambir. Dengan demikian keturunan langsung dari garis marga induk Purba Tambak adalah: Purba Tambak (Silau Buttu, Bawang, Tualang dan Lombang), Purba Sigumonrong (tuan Lokkung dan Marubun Lokkung di Kerajaan Dolok Silau), Purba Sidasuha (raja Panei, tuan Simalobong, tuan Baja Linggei dan Guru Raya), Purba Sidadolog (tuan Sinaman) dan Purba Sidagambir (tuan Rajaihuta dan Dolog Huluan) di Kecamatan Raya sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Panei Tuan Djintama (sekitar tahun 1780) didudukkan marga Purba Girsang menjadi partuanan di Dolog Batu Nanggar (yang sebelumnya bernama Naga Litang). Tuan Dolog Batu Nanggar yang terakhir adalah Tuan Badja Purba Girsang yang kawin dengan boru Damanik puteri raja Siantar. Pusat pemerintahannya pada zaman Belanda adalah di Sinaksak. Sekarang Dolog Batu Nanggar telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kecamatan Dolog Batu Nanggar di Sinaksak dan Kecamatan
Tapian Dolog di Purbasari, Kabupaten Simalungun.
Pada tahun 1515 keturunan raja Panei yang mengontrol daerah Purba yaitu Tuan Simalobong Purba Dasuha dikalahkan oleh seorang pengembara dari Tungtung Batu (Pakpak Dairi) dalam adu sumpah (marbija). Tuan Simalobong bersama pengiringnya meninggalkan istana Pamatang Purba pergi ke Purba Saribu dan sebagian ke Haranggaol (Kecamatan Haranggaol Horisan sekarang). Si pengembara yang bernama Raendan “marbulawan” dengan Tuan Simalobong dan mengakui Tuan Simalobong sebagai Raja Nagodang Purba. Ia juga memakai marga yang sama dengan Tuan Simalobong tetapi dengan mengingat asalnya dari Pakpak maka marganya disebutnya Purba Pakpak.
Sementara raja Panei sendiri selama enam generasi masih tetap tinggal di Pamatang Panei, tetapi pada generasi ketujuh terjadi pertikaian di Pamatang Panei yang mengakibatkan perginya salah seorang putera raja Panei bersama pengiringnya dan Puang Bolon (permaisuri raja) ke daerah kekuasaan Kerajaan Panei yaitu daerah Baja Linggei (Sipispis) sekarang kira-kira tahun 1550. Saudara tuan Baja Linggei yang lain ditugaskan oleh Raja Panei pindah ke Raya dan menjabat sebagai GURU RAYA bersamaan dengan dijemputnya tuan puteri Panei yang menjadi permaisuri (puang bolon) di Raya sekitar tahun 1600 (abad XVII).
Keturunan raja Panei yang lain yang adalah tuan Sinaman bermarga Purba Sidadolog dan adiknya Tuan Rajaihuta bermarga Purba Sidagambir. Dengan demikian keturunan langsung dari garis marga induk Purba Tambak adalah: Purba Tambak (Silau Buttu, Bawang, Tualang dan Lombang), Purba Sigumonrong (tuan Lokkung dan Marubun Lokkung di Kerajaan Dolok Silau), Purba Sidasuha (raja Panei, tuan Simalobong, tuan Baja Linggei dan Guru Raya), Purba Sidadolog (tuan Sinaman) dan Purba Sidagambir (tuan Rajaihuta dan Dolog Huluan) di Kecamatan Raya sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Panei Tuan Djintama (sekitar tahun 1780) didudukkan marga Purba Girsang menjadi partuanan di Dolog Batu Nanggar (yang sebelumnya bernama Naga Litang). Tuan Dolog Batu Nanggar yang terakhir adalah Tuan Badja Purba Girsang yang kawin dengan boru Damanik puteri raja Siantar. Pusat pemerintahannya pada zaman Belanda adalah di Sinaksak. Sekarang Dolog Batu Nanggar telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kecamatan Dolog Batu Nanggar di Sinaksak dan Kecamatan
Tapian Dolog di Purbasari, Kabupaten Simalungun.
Penulis : Lorenzo sihombing
No comments:
Post a Comment